Tuesday, April 18, 2017

Materi 1: Cyber Law di Berbagai Berbagai Belahan Dunia



Cyber Law di Berbagai Berbagai Belahan Dunia


1.            Cyberspace

Cyberspace adalah media elektronik dalam jaringan komputer yang banyak dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal-balik secara online (terhubung langsung). Dunia maya ini merupakan integrasi dari berbagai peralatan teknologi komunikasi dan jaringan komputer (sensor, tranduser, koneksi, transmisi, prosesor, signal, pengontrol) yang dapat menghubungkan peralatan komunikasi (komputer, telepon genggam, instrumentasi elektronik, dan lain-lain) yang tersebar di seluruh penjuru dunia secara interaktif.
Kata "cyberspace" (dari cybernetics dan space) berasal dan pertama kali diperkenalkan oleh penulis novel fiksi ilmiah, William Gibson dalam buku ceritanya, "Burning Chrome", 1982 dan menjadi populer pada novel berikutnya, Neuromancer, 1984 yang menyebutkan bahwa: “Cyberspace. A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts... A graphic representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding.”

2.            Cyber Law

Cyber law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyber law dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu". Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu ini. Cyber law sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan tindak pidana.  Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.



a.      Ruang Lingkup Cyber Law

Pembahasan mengenai ruang lingkup “cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau  aspek hukum dari:
1)      E-Commerce,
2)      Trademark/Domain Names,
3)      Privacy and Security on the Internet,
4)      Copyright,
5)      Defamation,
6)      Content Regulation,
7)      Disptle Settlement, dan sebagainya.

b.      Topik-Topik Cyber Law

Secara garis besar ada lima topik dari cyber law di setiap negara yaitu:
1)      Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
2)      On-line transaction, meliputi penawaran, jual beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
3)      Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
4)      Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur konten yang dialirkan melalui internet.
5)      Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, restriksi ekspor impor, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.

c.       Komponen-Komponen Cyber Law

Berikut adalah komponen-komponen yang ada pada cyber law:
1)      Yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu;
2)      Landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tanggung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet;
3)      Aspek hak milik intelektual di mana adanya aspek tentang  paten, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber;
4)      Aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan;
5)      Aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet;
6)      Ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan atau akuntansi;
7)      Aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.

d.      Asas-Asas Cyber Law

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :
1)      Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
2)      Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
3)      Nationality, yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4)      Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
5)      Protective principle, yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
6)      Universality, asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.

3.            Cyber Law di Asia

Indonesia

Indonesia telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law di Indonesia yaitu undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).  Diberlakukannya undang-undang ini, membuat oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang diberikan apabila melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di dalamnya. Sebagian orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak sedikit yang mendukung undang-undang ini. Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal sebagai berikut:
1)      Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas).
2)      Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
3)      Pengaturan nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
4)      Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
-        Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
-        Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
-        Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
-        Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
-        Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
-        Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
-        Pasal 33 (Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
-        Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising)

Singapura

The  Electronic  Transactions  Act  telah  ada  sejak  10  Juli  1998  untuk  menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk transaksi  perdagangan elektronik di Singapura. ETA dibuat dengan tujuan:
-        Memudahkan komunikasi  elektronik atas  pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya
-        Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang  tidak  sah  atas  penulisan  dan  persyaratan  tandatangan,  dan  untuk mempromosikan pengembangan  dari  undang-undang  dan  infrastruktur  bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin / mengamankan perdagangan elektronik
-        Memudahkan  penyimpanan  secara  elektronik  tentang  dokumen  pemerintah  dan perusahaan
-        Meminimalkan timbulnya arsip elektronik yang sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan penipuan dalam perdagangan elektronik, dan lainnya
-        Membantu  menuju  keseragaman  aturan,  peraturan  dan mengenai  pengesahan  dan integritas dari arsip elektronik
-        Mempromosikan  kepercayaan,  integritas  dan  keandalan  dari  arsip  elektronik  dan perdagangan elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan  elektronik melalui  penggunaan  tandatangan  yang  elektronik  untuk menjamin  keaslian  dan  integritas  surat menyurat  yang  menggunakan  media elektronik.

Di dalam ETA mencakup:
-        Kontrak Elektronik
Kontrak elektronik ini didasarkan pada hukum dagang online yang dilakukan secara wajar dan cepat serta untuk memastikan bahwa kontrak elektronik memiliki kepastian hukum.
-        Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
Mengatur mengenai potensi / kesempatan yang dimiliki oleh network service provider untuk  melakukan  hal-hal  yang  tidak  diinginkan,  seperti  mengambil,  membawa, menghancurkan material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan tersebut.
-        Tandatangan dan Arsip elektronik
Hukum  memerlukan  arsip/bukti  arsip  elektronik  untuk  menangani  kasus-kasus elektronik,  karena itu tandatangan dan arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum.
Di  Singapore  masalah tentang  privasi,  cyber  crime,  spam,  muatan online,  copyright, kontrak elektronik sudah ditetapkan. Sedangkan perlindungan konsumen dan penggunaan nama domain belum ada rancangannya tetapi online dispute resolution sudah terdapat rancangannya.

4.            Cyber Law di Amerika

Amerika Serikat

Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA diadopsi oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL) pada tahun 1999.
Secara lengkap Cyber Law di Amerika adalah sebagai berikut:
1)      Electronic Signatures in Global and National Commerce Act
2)      Uniform Electronic Transaction Act
3)      Uniform Computer Information Transaction Act
4)      Government Paperwork Elimination Act
5)      Electronic Communication Privacy Act
6)      Privacy Protection Act
7)      Fair Credit Reporting Act
8)      Right to Financial Privacy Act
9)      Computer Fraud and Abuse Act
10)   Anti-cyber squatting consumer protection Act
11)   Child online protection Act
12)   Children’s online privacy protection Act
13)   Economic espionage Act
14)   “No Electronic Theft” Act
UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yang berbeda atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas di antaranya mengenai:
-        Pasal 5: mengatur penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik
-        Pasal 7: memberikan pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
-        Pasal 8: mengatur informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
-        Pasal 9: membahas atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
-        Pasal 10: menentukan kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
-        Pasal 11: memungkinkan notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
-        Pasal 12: menyatakan bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik.
-        Pasal 13: “Dalam penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk elektronik”
-        Pasal 14: mengatur mengenai transaksi otomatis.
-        Pasal 15: mendefinisikan waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
-        Pasal 16: mengatur mengenai dokumen yang dipindahtangan.

5.            Cyber Law di Eropa

Council of Europe Convention on Cyber Crime (Dewan Eropa Konvensi Cyber Crime), yang  berlaku  mulai  pada  bulan  Juli  2004,  adalah  dewan  yang  membuat  perjanjian internasional  untuk mengatasi  kejahatan  komputer  dan kejahatan internet  yang dapat menyelaraskan  hukum  nasional,  meningkatkan  teknik  investigasi  dan  meningkatkan kerjasama  internasional. Berisi  Undang-Undang  Pemanfaatan  Teknologi  Informasi (RUU-PTI) yang pada  intinya  memuat  perumusan  tindak  pidana.  Council  of  Europe Convention on Cyber Crime ini juga terbuka untuk penandatanganan oleh negara-negara non-Eropa dan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama internasional dalam bidang ini.  Konvensi  ini  merupakan  perjanjian  internasional  pertama  pada  kejahatan  yang dilakukan  lewat  internet  dan jaringan  komputer  lainnya,  terutama  yang berhubungan dengan pelanggaran hak cipta, yang berhubungan dengan penipuan komputer, pornografi anak dan pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi serangkaian kekuatan dan prosedur seperti  pencarian jaringan komputer dan intersepsi  sah. Tujuan utama adanya konvensi  ini  adalah untuk membuat  kebijakan kriminal  umum yang ditujukan untuk perlindungan masyarakat terhadap cyber crime melalui harmonisasi legalisasi nasional, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peradilan,  dan peningkatan kerja sama internasional. Selain itu konvensi ini bertujuan terutama untuk:
1)      Harmonisasi unsur-unsur hukum domestik pidana substantif dari pelanggaran dan ketentuan yang terhubung di bidang kejahatan cyber.
2)      Menyediakan form untuk kekuatan hukum domestik acara pidana yang diperlukan untuk investigasi dan penuntutan tindak pidana tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan menggunakan sistem komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk elektronik.
3)      Mendirikan cepat dan efektif rezim kerja sama internasional.

6.            Cyber Law di Australia

Undang-undang cybercrime baru di Australia, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2013, menetapkan kerangka legislatif untuk masuknya Australia ke dalam Council of Europe Convention on Cybercrime (Convention). Undang-undang cybercrime telah dipengaruhi oleh amandemen sejumlah undang-undang Persemakmuran yang ada, termasuk Mutual Assistance in Criminal Matters Act 1987 (Cth), the Criminal Code Act 1995 (Cth), the Telecommunications (Interception and Access) Act 1979 (Cth) dan the Telecommunications Act 1997 (Cth).
Inti dari undang-undang cybercrime yang baru adalah memberdayakan badan penegak hukum dan intelijen Australia untuk memaksa operator menjaga catatan komunikasi orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan berbasis cyber. Undang-undang baru tersebut juga memperluas pelanggaran cybercrime persemakmuran dan memfasilitasi kerja sama internasional antara negara-negara pihak ke konvensi melalui pembagian bersama catatan komunikasi lintas batas.
Undang-undang cybercrime dimaksudkan untuk memfasilitasi kemampuan Australia untuk memberikan bantuan timbal balik kepada Negara pihak lainnya dan menerima bantuan tersebut sebagai imbalan atas penyelidikan dan penuntutan tindak pidana berdasarkan Konvensi. Hal ini telah dilakukan dengan meningkatkan jangkauan alat penegakan hukum yang tersedia untuk badan-badan Australia untuk membantu penyelidikan asing dan dengan memberi mereka akses lebih besar terhadap informasi yang tersimpan di luar negeri dalam penyelidikan kejahatan dunia maya.
Secara umum, cyber las di Australia adalah sebagai berikut:
1)      Digital Transaction Act
2)      Privacy Act
3)      Crimes Act
4)      Broadcasting Services Amendment (Online Services) Act

7.            Contoh Pelanggaran Cyber Law dan Hukumnya di Indonesia

Seiring dengan perkembangan jaman banyak cara yang dilakukan dalam kejahatan di dunia maya atau Cybercrime. pengertian dari cybercrime itu sendiri adalah tidak kriminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer sebagai alat kejahatan utama.
Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi komputer khususnya internet. Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi komputer yang berbasis pada kecanggihan perkembangan teknologi internet. Berikut ini merupakan beberapa kasus yang terjadi dalam dunia maya.

a.      Penyebaran Virus

Virus dan Worm mulai menyebar dengan cepat membuat komputer cacat, dan membuat internet berhenti. Penyebaran virus dengan sengaja, ini adalah salah satu jenis cyber crime yang terjadi pada bulan Juli 2009. Twitter kembali menjadi media infeksi modifikasi New Koobface, worm yang mampu membajak akun Twitter dan menular melalui postingannya, dan menjangkit semua followers. Semua kasus ini hanya sebagian dari sekian banyak kasus penyebaran Malware di seantero jejaring sosial.
Perihal hukuman yang diberikan kepada penyebar virusnya belum ada kepastian hukum. Adapun Hukum yang dapat menjerat Para Penyebar Virus tersebut tercantum dalam UU ITE pasal 33 yaitu Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya. Pelanggaran UU ITE ini akan dikenakan denda 1 ( Satu ) Milliar rupiah.

b.      Spyware

Sesuai dengan namanya, spy yang berarti mata-mata dan ware yang berarti program, maka spyware yang masuk dalam kategori malicious software ini, memang dibuat agar bisa memata-matai komputer yang kita gunakan. Spyware yang semula hanya berwujud iklan atau banner dengan maksud untuk mendapatkan profit semata, sekarang berubah menjadi salah satu media yang merusak, bahkan cenderung merugikan. Penanggulangan: Jangan sembarang menginstal sebuah software karena bisa jadi software tersebut terdapat spyware.
Pelakunya dapat dijerat UU ITE Pasal 27 (1) yaitu setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik. Dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

c.       Thiefware

Difungsikan untuk mengarahkan pengunjung situs ke situs lain yang mereka kehendaki. Oleh karena itu, adanya kecerobohan yang kita lakukan akan menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Apalagi jika menyangkut materi seperti melakukan sembarang transaksi via internet dengan menggunakan kartu kredit atau sejenisnya.
Pelakunya dapat dijerat UU ITE Pasal 31 (1) yaitu setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengaskses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan atau memperoleh informasi keuangan dari bank sentral, lembaga perbankan atau lembaga keuangan, penerbit kartu kredit, atau kartu pembayaran atau yang mengandung data laporan nasabahnya. Atau Pasal 31 (2) yaitu setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu pembayaran milik orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

d.      Cyber Sabotage and Exortion

Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan Internet. Modus : kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang dikehendaki oleh pelaku.
Pelakunya dapat dijerat UU ITE Pasal 27 (1) yaitu setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik. Dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

e.      Surveillance software

Salah satu program yang berbahaya dengan cara mencatat kegiatan pada sebuah komputer, termasuk data penting, password, dan lainnya. Modusnya adalah mengirim data setelah seseorang selesai melakukan aktivitas.
Pelakunya dapat dijerat Pasal 22 (1) yaitu penyelenggara agen elektronik tertentu wajib menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan yang melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi. Atau Pasal 25 yaitu penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan dengan hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

8.            Pendapat

Internet sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat modern. Dalam dunia internet, melalui beraneka ragam teknologi informasi dan komunikasi, orang dapat saling berinteraksi, bertukar pikiran, dan berkolaborasi untuk melakukan sejumlah aktivitas kehidupan. Semakin berharga sebuah benda, pasti diikuti dengan banyaknya pihak yang tertarik untuk memiliknya. Demikian halnya dengan internet, semakin bertambah nilai dunia maya, semakin banyak pula ancaman yang menyertainya.
Ancaman-ancaman di internet yang beraneka ragam untuk memperoleh keuntungan pihak tertentu merupakan hal wajar karena tingginya nilai internet. Sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, semakin kompleks pula jenis serangan yang terjadi di dunia maya di antaranya seperti yang sudah dijelaskan di atas. Bahkan, hampir seluruh negara melaporkan bahwa tindakan kriminal di dunia maya menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, baik dari kualitas maupun kuantitas.
Adanya cyber security untuk mencegah terjadinya motif kriminal di dunia maya pada akhirnya tidak dapat bekerja dengan sebagaimana mestinya. Diperlukan perangkat lain yang lebih canggih dan efektif seperti Cyber Law atau undang-undang dunia maya. Di Indonesia, cyber law dikatakan relatif terlambat dibanding negara lain. Namun itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Penting dipikirkan bagai mana menerapkan aturan ini terhadap masyarakat yang sudah terbiasa bebas dalam hal pemanfaatan ruang cyber. Selain diperlukan keseriusan dari pemerintah dalam menerapkan aturan ITE ini baik yang meliputi penerapan sanksi maupun penerapan aturan itu sendiri. Negara lain seperti Amerika Serikat sudah dapat dikatakan maju dalam membuat undang-undang dunia maya karena telah memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
Tantangan utama Cyber Law terletak pada implementasinya, terutama dilihat dari kesiapan sumber daya penegak hukumnya. Fungsi cyber law akan efektif jika dengan keberadaannya justru jumlah pengguna internet di Indonesia meningkat secara signifikan, demikian juga dengan frekuensi dan volume interaksi di internet. Jika dengan keberadaan kedua perangkat tersebut justru membuat pertumbuhan internet menjadi melambat, berarti banyak hal salah yang perlu untuk diperbaiki. Untuk ke depannya, sebaiknya diberlakukan standarisasi cyber law sehingga negara-negara yang belum memberlakukan cyber law dapat memberlakukannya dan negara maju yang sudah memberlakukan cyber law dengan baik dapat dijadikan pedoman. Selain itu, diperlukan kerja sama antar negara dalam menanggulangi cybercrime sehingga dapat menurunkan tingkat kejahatan dalam dunia maya. PBB harus mengambil langkah/tindak lanjut yang berhubungan dengan bantuan dan kerja sama teknis dalam penanggulangan cybercrime. 

Sumber:

·         Hegarini, Ega. Cyber Law. http://ega.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/34342/Bab+V+Cyberla.pdf (Diakses tanggal 16 April 2017)
·         Indrajit, Richardus Eko. Enam Aspek Menjaga dan Melindungi Dunia Maya. IDSIRTII.
·         Jack Febrian dan Farida Andayani. 2002. Kamus Komputer dan Istilah Teknologi Komunikasi. Bandung: Informatika
·         Kallenbach, Paul dan Solina Sam. 2013. Australia’s New Cybercrime Law. http://www.minterellison.com/publications/cybercrime-privacy-update-201305/ (Diakses tanggal 16 April 2017)
·         Permadi, Didit. 2012. Cyber Crime dan Cyber Law. http://diditpermadi18.blogspot.co.id/2012/04/cyber-crime-and-cyber-law.html (Diakses tanggal 16 April 2017)




0 comments:

Post a Comment