Cyber Law di Berbagai Berbagai Belahan Dunia
1. Cyberspace
Cyberspace adalah media elektronik dalam jaringan komputer yang banyak
dipakai untuk keperluan komunikasi satu arah maupun timbal-balik secara online
(terhubung langsung). Dunia maya ini merupakan integrasi dari berbagai
peralatan teknologi komunikasi dan jaringan komputer (sensor, tranduser,
koneksi, transmisi, prosesor, signal, pengontrol) yang dapat menghubungkan
peralatan komunikasi (komputer, telepon genggam, instrumentasi elektronik, dan
lain-lain) yang tersebar di seluruh penjuru dunia secara interaktif.
Kata "cyberspace" (dari cybernetics dan space) berasal dan
pertama kali diperkenalkan oleh penulis novel fiksi ilmiah, William Gibson
dalam buku ceritanya, "Burning Chrome", 1982 dan menjadi populer pada
novel berikutnya, Neuromancer, 1984 yang menyebutkan bahwa: “Cyberspace. A
consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators,
in every nation, by children being taught mathematical concepts... A graphic
representation of data abstracted from the banks of every computer in the human
system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the nonspace of the
mind, clusters and constellations of data. Like city lights, receding.”
2. Cyber Law
Cyber law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya), yang
umumnya diasosiasikan dengan Internet. Cyber law dibutuhkan karena dasar atau
fondasi dari hukum di banyak negara adalah "ruang dan waktu".
Sementara itu, Internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu
ini. Cyber law sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak
pidana, ataupun penanganan tindak pidana.
Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap
kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan
pencucian uang dan kejahatan terorisme.
a. Ruang Lingkup Cyber Law
Pembahasan mengenai ruang lingkup “cyber law” dimaksudkan sebagai
inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan
berkaitan dengan pemanfaatan Internet. Secara garis besar ruang lingkup ”cyber
law” ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau aspek hukum dari:
1)
E-Commerce,
2)
Trademark/Domain Names,
3)
Privacy and Security on the Internet,
4)
Copyright,
5)
Defamation,
6)
Content Regulation,
7)
Disptle Settlement, dan sebagainya.
b. Topik-Topik Cyber Law
Secara garis besar ada lima topik dari cyber law di setiap negara yaitu:
1)
Information security, menyangkut masalah
keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir
melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda
tangan elektronik.
2)
On-line transaction, meliputi penawaran, jual beli,
pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
3)
Right in electronic information, soal hak cipta
dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
4)
Regulation information content, sejauh mana
perangkat hukum mengatur konten yang dialirkan melalui internet.
5)
Regulation on-line contact, tata karma dalam
berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, restriksi
ekspor impor, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
c. Komponen-Komponen Cyber Law
Berikut adalah
komponen-komponen yang ada pada cyber law:
1)
Yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait;
komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan
diterapkan di dalam dunia maya itu;
2)
Landasan penggunaan internet sebagai sarana
untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab
pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tanggung jawab dalam memberikan
jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung
jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet;
3)
Aspek hak milik intelektual di mana adanya aspek
tentang paten, merek dagang rahasia yang
diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber;
4)
Aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan
hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang
mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme
jasa yang mereka lakukan;
5)
Aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap
pengguna internet;
6)
Ketentuan hukum yang memformulasikan aspek
kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat
dihitung sesuai dengan prinsip-prinsip keuangan atau akuntansi;
7)
Aspek hukum yang memberikan legalisasi atas
internet sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
d. Asas-Asas Cyber Law
Dalam kaitannya
dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan,
yaitu :
1)
Subjective territoriality, yang menekankan bahwa
keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan
penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
2)
Objective territoriality, yang menyatakan bahwa
hukum yang berlaku adalah hukum di mana akibat utama perbuatan itu terjadi dan
memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
3)
Nationality, yang menentukan bahwa negara
mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
4)
Passive nationality, yang menekankan yurisdiksi
berdasarkan kewarganegaraan korban.
5)
Protective principle, yang menyatakan berlakunya
hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari
kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila
korban adalah negara atau pemerintah,
6)
Universality, asas ini selayaknya memperoleh
perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini
disebut juga sebagai “universal interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan
bahwa setiap negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku
pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), misalnya penyiksaan, genosida,
pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi
universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer,
cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa
penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius
berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
3. Cyber Law di Asia
Indonesia
Indonesia telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur
orang-orang yang tidak bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law di
Indonesia yaitu undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE). Diberlakukannya undang-undang ini,
membuat oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang diberikan apabila
melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena melanggar pasal 27
ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya UU ITE
(Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas situs
porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas secara
mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang terjadi di
dalamnya. Sebagian orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak sedikit
yang mendukung undang-undang ini. Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal
sebagai berikut:
1)
Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum
yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai
dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas
batas).
2)
Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti
lainnya yang diatur dalam KUHP.
3)
Pengaturan nama domain dan Hak Kekayaan
Intelektual.
4)
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan
pada Bab VII (pasal 27-37):
-
Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan,
Pemerasan)
-
Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita
Kebencian dan Permusuhan)
-
Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
-
Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin,
Cracking)
-
Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan
Informasi)
-
Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka
Informasi Rahasia)
-
Pasal 33 (Virus, Membuat Sistem Tidak Bekerja
(DOS?))
-
Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik
(phising)
Singapura
The Electronic Transactions
Act telah ada
sejak 10 Juli
1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang
undang-undang untuk transaksi
perdagangan elektronik di Singapura. ETA dibuat dengan tujuan:
-
Memudahkan komunikasi elektronik atas pertolongan arsip elektronik yang dapat
dipercaya
-
Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu
menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak
sah atas penulisan
dan persyaratan tandatangan,
dan untuk mempromosikan
pengembangan dari undang-undang
dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin /
mengamankan perdagangan elektronik
-
Memudahkan
penyimpanan secara elektronik
tentang dokumen pemerintah
dan perusahaan
-
Meminimalkan timbulnya arsip elektronik yang
sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip, dan
penipuan dalam perdagangan elektronik, dan lainnya
-
Membantu
menuju keseragaman aturan,
peraturan dan mengenai pengesahan
dan integritas dari arsip elektronik
-
Mempromosikan
kepercayaan, integritas dan
keandalan dari arsip
elektronik dan perdagangan
elektronik, dan untuk membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui penggunaan
tandatangan yang elektronik
untuk menjamin keaslian dan
integritas surat menyurat yang
menggunakan media elektronik.
Di dalam ETA mencakup:
-
Kontrak Elektronik
Kontrak elektronik ini didasarkan pada hukum dagang
online yang dilakukan secara wajar dan cepat serta untuk memastikan bahwa
kontrak elektronik memiliki kepastian hukum.
-
Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
Mengatur mengenai potensi / kesempatan yang dimiliki
oleh network service provider untuk
melakukan hal-hal yang
tidak diinginkan, seperti
mengambil, membawa, menghancurkan
material atau informasi pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan tersebut.
-
Tandatangan dan Arsip elektronik
Hukum
memerlukan arsip/bukti arsip
elektronik untuk menangani
kasus-kasus elektronik, karena
itu tandatangan dan arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum.
Di Singapore masalah tentang privasi,
cyber crime, spam,
muatan online, copyright, kontrak
elektronik sudah ditetapkan. Sedangkan perlindungan konsumen dan penggunaan nama
domain belum ada rancangannya tetapi online dispute resolution sudah terdapat rancangannya.
4. Cyber Law di Amerika
Amerika Serikat
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi elektronik dikenal dengan
Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA diadopsi oleh National
Conference of Commissioners on Uniform State Laws (NCCUSL) pada tahun 1999.
Secara lengkap Cyber Law di Amerika adalah sebagai berikut:
1)
Electronic Signatures in Global and National
Commerce Act
2)
Uniform Electronic Transaction Act
3)
Uniform Computer Information Transaction Act
4)
Government Paperwork Elimination Act
5)
Electronic Communication Privacy Act
6)
Privacy Protection Act
7)
Fair Credit Reporting Act
8)
Right to Financial Privacy Act
9)
Computer Fraud and Abuse Act
10)
Anti-cyber squatting consumer protection Act
11)
Child online protection Act
12)
Children’s online privacy protection Act
13)
Economic espionage Act
14)
“No Electronic Theft” Act
UETA adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan
Amerika Serikat yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on
Uniform State Laws (NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico,
dan Pulau Virgin US telah mengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan
menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yang berbeda
atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan
elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media
perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas di antaranya mengenai:
-
Pasal 5: mengatur penggunaan dokumen elektronik
dan tanda tangan elektronik
-
Pasal 7: memberikan pengakuan legal untuk
dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak elektronik.
-
Pasal 8: mengatur informasi dan dokumen yang
disajikan untuk semua pihak.
-
Pasal 9: membahas atribusi dan pengaruh dokumen
elektronik dan tanda tangan elektronik.
-
Pasal 10: menentukan kondisi-kondisi jika
perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi dalam transmisi data
antara pihak yang bertransaksi.
-
Pasal 11: memungkinkan notaris publik dan
pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara elektronik, secara
efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
-
Pasal 12: menyatakan bahwa kebutuhan “retensi
dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen elektronik.
-
Pasal 13: “Dalam penindakan, bukti dari dokumen
atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya karena dalam bentuk
elektronik”
-
Pasal 14: mengatur mengenai transaksi otomatis.
-
Pasal 15: mendefinisikan waktu dan tempat
pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
-
Pasal 16: mengatur mengenai dokumen yang
dipindahtangan.
5. Cyber Law di Eropa
Council of Europe Convention on Cyber Crime (Dewan Eropa Konvensi Cyber
Crime), yang berlaku mulai
pada bulan Juli
2004, adalah dewan
yang membuat perjanjian internasional untuk mengatasi kejahatan
komputer dan kejahatan
internet yang dapat menyelaraskan hukum
nasional, meningkatkan teknik
investigasi dan meningkatkan kerjasama internasional. Berisi Undang-Undang
Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) yang pada intinya
memuat perumusan tindak
pidana. Council of
Europe Convention on Cyber Crime ini juga terbuka untuk penandatanganan
oleh negara-negara non-Eropa dan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama
internasional dalam bidang ini.
Konvensi ini merupakan
perjanjian internasional pertama
pada kejahatan yang dilakukan lewat
internet dan jaringan komputer
lainnya, terutama yang berhubungan dengan pelanggaran hak
cipta, yang berhubungan dengan penipuan komputer, pornografi anak dan
pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi serangkaian kekuatan dan
prosedur seperti pencarian jaringan
komputer dan intersepsi sah. Tujuan
utama adanya konvensi ini adalah untuk membuat kebijakan kriminal umum yang ditujukan untuk perlindungan
masyarakat terhadap cyber crime melalui harmonisasi legalisasi nasional,
peningkatan kemampuan penegakan hukum dan peradilan, dan peningkatan kerja sama internasional.
Selain itu konvensi ini bertujuan terutama untuk:
1)
Harmonisasi unsur-unsur hukum domestik pidana
substantif dari pelanggaran dan ketentuan yang terhubung di bidang kejahatan
cyber.
2)
Menyediakan form untuk kekuatan hukum domestik
acara pidana yang diperlukan untuk investigasi dan penuntutan tindak pidana
tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan menggunakan sistem
komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk elektronik.
3)
Mendirikan cepat dan efektif rezim kerja sama
internasional.
6. Cyber Law di Australia
Undang-undang cybercrime baru di Australia, yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Maret 2013, menetapkan kerangka legislatif untuk masuknya Australia
ke dalam Council of Europe Convention on Cybercrime (Convention). Undang-undang
cybercrime telah dipengaruhi oleh amandemen sejumlah undang-undang
Persemakmuran yang ada, termasuk Mutual Assistance in Criminal Matters Act 1987
(Cth), the Criminal Code Act 1995 (Cth), the Telecommunications (Interception
and Access) Act 1979 (Cth) dan the Telecommunications Act 1997 (Cth).
Inti dari undang-undang cybercrime yang baru adalah memberdayakan badan
penegak hukum dan intelijen Australia untuk memaksa operator menjaga catatan
komunikasi orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan berbasis cyber. Undang-undang
baru tersebut juga memperluas pelanggaran cybercrime persemakmuran dan
memfasilitasi kerja sama internasional antara negara-negara pihak ke konvensi
melalui pembagian bersama catatan komunikasi lintas batas.
Undang-undang cybercrime dimaksudkan untuk memfasilitasi kemampuan
Australia untuk memberikan bantuan timbal balik kepada Negara pihak lainnya dan
menerima bantuan tersebut sebagai imbalan atas penyelidikan dan penuntutan
tindak pidana berdasarkan Konvensi. Hal ini telah dilakukan dengan meningkatkan
jangkauan alat penegakan hukum yang tersedia untuk badan-badan Australia untuk
membantu penyelidikan asing dan dengan memberi mereka akses lebih besar
terhadap informasi yang tersimpan di luar negeri dalam penyelidikan kejahatan
dunia maya.
Secara umum, cyber las di Australia adalah sebagai berikut:
1)
Digital Transaction Act
2)
Privacy Act
3)
Crimes Act
4)
Broadcasting Services Amendment (Online
Services) Act
7. Contoh Pelanggaran Cyber Law dan Hukumnya di Indonesia
Seiring dengan perkembangan jaman banyak cara yang dilakukan dalam
kejahatan di dunia maya atau Cybercrime. pengertian dari cybercrime itu sendiri
adalah tidak kriminal yang dilakukan dengan menggunakan teknologi komputer
sebagai alat kejahatan utama.
Cybercrime merupakan kejahatan yang memanfaatkan perkembangan teknologi
komputer khususnya internet. Cybercrime didefinisikan sebagai perbuatan
melanggar hukum yang memanfaatkan teknologi komputer yang berbasis pada
kecanggihan perkembangan teknologi internet. Berikut ini merupakan beberapa
kasus yang terjadi dalam dunia maya.
a. Penyebaran Virus
Virus dan Worm mulai menyebar dengan cepat membuat komputer cacat, dan
membuat internet berhenti. Penyebaran virus dengan sengaja, ini adalah salah
satu jenis cyber crime yang terjadi pada bulan Juli 2009. Twitter kembali
menjadi media infeksi modifikasi New Koobface, worm yang mampu membajak akun
Twitter dan menular melalui postingannya, dan menjangkit semua followers. Semua
kasus ini hanya sebagian dari sekian banyak kasus penyebaran Malware di
seantero jejaring sosial.
Perihal hukuman yang diberikan kepada penyebar virusnya belum ada
kepastian hukum. Adapun Hukum yang dapat menjerat Para Penyebar Virus tersebut
tercantum dalam UU ITE pasal 33 yaitu Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum melakukan tindakan apa pun yang berakibat terganggunya
Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem Elektronik menjadi tidak
bekerja sebagaimana mestinya. Pelanggaran UU ITE ini akan dikenakan denda 1 (
Satu ) Milliar rupiah.
b. Spyware
Sesuai dengan namanya, spy yang berarti mata-mata dan ware yang berarti
program, maka spyware yang masuk dalam kategori malicious software ini, memang
dibuat agar bisa memata-matai komputer yang kita gunakan. Spyware yang semula
hanya berwujud iklan atau banner dengan maksud untuk mendapatkan profit semata,
sekarang berubah menjadi salah satu media yang merusak, bahkan cenderung
merugikan. Penanggulangan: Jangan sembarang menginstal sebuah software karena
bisa jadi software tersebut terdapat spyware.
Pelakunya dapat dijerat UU ITE Pasal 27 (1) yaitu setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan
informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik. Dengan hukuman pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
c. Thiefware
Difungsikan untuk mengarahkan pengunjung situs ke situs lain yang mereka
kehendaki. Oleh karena itu, adanya kecerobohan yang kita lakukan akan
menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Apalagi jika menyangkut materi seperti
melakukan sembarang transaksi via internet dengan menggunakan kartu kredit atau
sejenisnya.
Pelakunya dapat dijerat UU ITE Pasal 31 (1) yaitu setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengaskses komputer dan atau sistem elektronik secara
tanpa hak atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan atau
memperoleh informasi keuangan dari bank sentral, lembaga perbankan atau lembaga
keuangan, penerbit kartu kredit, atau kartu pembayaran atau yang mengandung
data laporan nasabahnya. Atau Pasal 31 (2) yaitu setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu
pembayaran milik orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk
memperoleh keuntungan dengan hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah).
d. Cyber Sabotage and Exortion
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, perusakan atau
penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan
komputer yang terhubung dengan Internet. Modus : kejahatan ini dilakukan dengan
menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu,
sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat
digunakan, tidak berjalan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang
dikehendaki oleh pelaku.
Pelakunya dapat dijerat UU ITE Pasal 27 (1) yaitu setiap orang dilarang
menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara
apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan
informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik. Dengan hukuman pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
e. Surveillance software
Salah satu program yang berbahaya dengan cara mencatat kegiatan pada
sebuah komputer, termasuk data penting, password, dan lainnya. Modusnya adalah mengirim
data setelah seseorang selesai melakukan aktivitas.
Pelakunya dapat dijerat Pasal 22 (1) yaitu penyelenggara agen elektronik
tertentu wajib menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya yang
memungkinkan penggunanya melakukan yang melakukan perubahan informasi yang
masih dalam proses transaksi. Atau Pasal 25 yaitu penggunaan setiap informasi
melalui media elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang
harus dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan, kecuali
ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan dengan hukuman pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
8. Pendapat
Internet sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat
modern. Dalam dunia internet, melalui beraneka ragam teknologi informasi dan
komunikasi, orang dapat saling berinteraksi, bertukar pikiran, dan
berkolaborasi untuk melakukan sejumlah aktivitas kehidupan. Semakin berharga
sebuah benda, pasti diikuti dengan banyaknya pihak yang tertarik untuk
memiliknya. Demikian halnya dengan internet, semakin bertambah nilai dunia
maya, semakin banyak pula ancaman yang menyertainya.
Ancaman-ancaman di internet yang beraneka ragam untuk memperoleh
keuntungan pihak tertentu merupakan hal wajar karena tingginya nilai internet.
Sejalan dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, semakin kompleks
pula jenis serangan yang terjadi di dunia maya di antaranya seperti yang sudah
dijelaskan di atas. Bahkan, hampir seluruh negara melaporkan bahwa tindakan
kriminal di dunia maya menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, baik dari
kualitas maupun kuantitas.
Adanya cyber security untuk mencegah terjadinya motif kriminal di dunia
maya pada akhirnya tidak dapat bekerja dengan sebagaimana mestinya. Diperlukan
perangkat lain yang lebih canggih dan efektif seperti Cyber Law atau
undang-undang dunia maya. Di Indonesia, cyber law dikatakan relatif terlambat
dibanding negara lain. Namun itu lebih baik daripada tidak sama sekali. Penting
dipikirkan bagai mana menerapkan aturan ini terhadap masyarakat yang sudah
terbiasa bebas dalam hal pemanfaatan ruang cyber. Selain diperlukan keseriusan
dari pemerintah dalam menerapkan aturan ITE ini baik yang meliputi penerapan
sanksi maupun penerapan aturan itu sendiri. Negara lain seperti Amerika Serikat
sudah dapat dikatakan maju dalam membuat undang-undang dunia maya karena telah
memiliki banyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan Cyber
Law.
Tantangan utama Cyber Law terletak pada implementasinya, terutama
dilihat dari kesiapan sumber daya penegak hukumnya. Fungsi cyber law akan
efektif jika dengan keberadaannya justru jumlah pengguna internet di Indonesia
meningkat secara signifikan, demikian juga dengan frekuensi dan volume
interaksi di internet. Jika dengan keberadaan kedua perangkat tersebut justru
membuat pertumbuhan internet menjadi melambat, berarti banyak hal salah yang
perlu untuk diperbaiki. Untuk ke depannya, sebaiknya diberlakukan standarisasi
cyber law sehingga negara-negara yang belum memberlakukan cyber law dapat
memberlakukannya dan negara maju yang sudah memberlakukan cyber law dengan baik
dapat dijadikan pedoman. Selain itu, diperlukan kerja sama antar negara dalam
menanggulangi cybercrime sehingga dapat menurunkan tingkat kejahatan dalam
dunia maya. PBB harus mengambil langkah/tindak lanjut yang berhubungan dengan
bantuan dan kerja sama teknis dalam penanggulangan cybercrime.
Sumber:
·
Hegarini, Ega. Cyber Law. http://ega.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/34342/Bab+V+Cyberla.pdf
(Diakses tanggal 16 April 2017)
·
Indrajit, Richardus Eko. Enam Aspek Menjaga dan
Melindungi Dunia Maya. IDSIRTII.
·
Jack Febrian dan Farida Andayani. 2002. Kamus
Komputer dan Istilah Teknologi Komunikasi. Bandung: Informatika
·
Kallenbach, Paul dan Solina Sam. 2013.
Australia’s New Cybercrime Law. http://www.minterellison.com/publications/cybercrime-privacy-update-201305/
(Diakses tanggal 16 April 2017)
·
Permadi, Didit. 2012. Cyber Crime dan Cyber Law.
http://diditpermadi18.blogspot.co.id/2012/04/cyber-crime-and-cyber-law.html
(Diakses tanggal 16 April 2017)
Catatan:
Materi
berikutnya dapat dilihat disini atau http://dinihayati94.blogspot.co.id/2017/04/materi-2-undang-undang-tentang-hak.html
0 comments:
Post a Comment